Pengertian Permukiman Kumuh
Kota pada
awalnya berupa permukiman dengan skala kecil, kemudian mengalami perkembangan
sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi, dan budaya
serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Namun yang
terjadi dengan kota-kota di indonesia adalah bahwa pertumbuhan penduduk tidak
diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana kota dan peningkatan
pelayanan perkotaan. Bahkan yang terjadi justru sebagai kawasan perkotaan
mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan permukiman kumuh.
sebagian penghuni kota berprinsip sebagai alat mencari penghasilan yang
sebesar-besarnya. Dengan demikian prisip mereka harus hemat dalam arti yang
luas, yaitu hemat mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan, pengoperasian dan
pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sisitem strukturnya
(Sobirin, 2001:41).
Potret Permukiman Kumuh |
Akibatnya,
muncul permukiman kumuh di beberapa wilayah kota yang merupakan hal yang tidak
dapat dihindari, yaitu tidak direncanakan oleh pemerintah tetapi tumbuh sebagai
proses alamiah.Dalam berbagai literatur dapat dilihat berbagai kriteria dalam
menentukan kekumuhan atau tidaknya suatu kawasan permukiman. Menurut studi yang
dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi
Sepuluh November, Surabaya (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999 :8-9), untuk
menentukan kekumuhan suatu kawasan, dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu :
1.
Kondisi bangunan atau rumah,
2.
Ketersediaan prasarana dasar dan lingkungan,
3.
Kerentanan status penduduk, dan
4. Berdasarkan
aspek pendudukung, seperti tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai,
kurangnya tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial dan dapat
dikatakan hampir tidak ada fasilitas yang dibangun secara bersama swadaya
maupun non swadaya oleh masyarakat. Berdasarkan kriteria tersebut maka studi
tersebut menentukan tiga skala permukiman kumuh, yaitu tidak kumuh, kumuh dan
sangat kumuh.
Berbeda dengan
studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitek tersebut,
Laboratorium Permukiman, Jurusan Arsitektur ITS, Surabaya (Rudiyantono,
2000:8), hanya menentukan dua standart permukiman kumuh, yaitu :
1. Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, yang
antara lain dilihat dari stuktur rumahnya, pemisahan fungsi ruang, kepadatan
hunian/rumah dan bangunan dan tatanan bangunan.
2. Ditinjau
dari ketersediaan prasarana dasar lingkungan, seperti pada air bersih,
sanitasi, ketersediaan fasilitas tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, dan
sarana ekonomi, ada tidaknya ruang terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak
mempertimbangkan kriteria non fisik seperti kerentanan status penduduk untuk
melihat tingkat tingkat kekumuhan permukiman.
Johan Silas,
seorang pakar dalam bidang arsitektur dan permukiman kumuh (Titisari dan Farid
Kurniawan, 1999:8), menjelaskan bahwasanya kriteria pokok untuk menentukan
permukiman kumuh/marjinal adalah: bila berada di lokasi yang ilegal, dengan
keadaan fisiknya yang sub standrat; penghasilan penghuni amat rendah (miskin),
tak dapat dilayani berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya
oleh publik (kecuali yang berkepentingan). Berdasarkan kriteria Silas tersebut,
aspek legalitas juga merupakan kriteria yang harus dipertimbangkan untuk
menentukan kekumuhan suatu wilayah selain buruknya kondisi kualitas lingkungan
yang ada
Permukiman
sering disebut perumahan dan atau sebaliknya permukiman berasal dari kata housing
dalam bahasa inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human
settlement yang artinya adalah permukiman. Perumahan memberikan kesan
tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan.
Perumahan menitikberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu house dan land
settlement. Permukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau kumpulan
pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman
menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu
manusia (human). Dengan demikian perumahan dan permukiman merupakan dua
hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya
saling melengkapi (Kurniasih,2007).
Kumuh adalah
kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah
dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain,
kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang
sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan (Kurniasih,2007).
Menurut UU No.
4 pasal 22 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, dimana permukiman kumuh
adalah permukiman yang tidak layak huni antara lain karena berada pada lahan
yang tidak sesuai dengan peruntukkan atau tata ruang, kepadatan bangunan yang
sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan
penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana
lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya.
Masrun (2009)
memaparkan bahwa permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau
komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman
yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial
ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang
layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya
benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada
umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang
sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti
halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan,
ruang terbuka / rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan.
Khomarudin
(1997) lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut :
1.
Lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500
orang per Ha),
2.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah,
3.
Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya
dibawah standar,
4.
Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi
syarat teknis dan kesehatan,
5. Hunian
dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diatur perundang
undangan yang berlaku.
Gambaran lingkungan kumuh,
(Khomarudin,1997) adalah sebagai berikut :
1.
Lingkungan permukiman yang kondisi tempat
tinggal atau tempat huniannya berdesakan,
2.
Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah
penghuni,
3.
Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari
panas dan hujan,
4.
Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas
tanah bukan milik penghuni,
5.
Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur
tanpa perencanaan,
6.
Prasarana kurang (mck, air bersih, saluran
buangan, listrik, jalan lingkungan),
7.
Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah,
balai pengobatan),
8.
Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha
non-formal,
9. Pendidikan
masyarakat rendah.
Menurut Sinulingga (2005) ciri-ciri
kampung/permukiman kumuh terdiri dari :
1. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat
para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah
mencapai 80 jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan
yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis
dan perlindungan terhadap penyakit.
2. Jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan
roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik
atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.
3. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan
malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan
kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.
4. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat
minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang
dekat dengan rumah.
5. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim,
memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.
6. Tata bangunan sangat tidak teratur dan
bangunan-bangunan pada umunya tidak permanen dan malahan banyak sangat darurat.
7. Pemilikan
hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah
negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.
Menurut UNCHS ( 1982; dalam Sochi,
1993) ciri – ciri permukiman kumuh ini antara lain :
1. Sebagian besar terdiri atas rumah tua (rusak)
pada bagian lama suatu kota ( semula didirikan dengan ijin),
2. Sebagian besar penghuninya merupakan penyewa,
3. Di beberapa tempat ada rumah bertingkat pemilik
yang sekaligus menyewakan beberapa rumah kumuh,
4. Kepadatan rumahnya tinggi,
5. Ada yang berasal dari proyek perumahan yang
kurang terpelihara, dan
6. Ada
yang dibangun oleh sektor informal, dengan sewa murah untuk menampung migran
ekonomi lemah yang datang dari desa.
Permukiman kumuh dipilah atas tiga
macam berdasarkan asal atau proses terjadinya, yaitu (Sutanto, 1995):
A.
Kumuh
bangunan (created), daerah hunian masyarakat ekonomi lemah
dengan ciri fisik :
1.
Bangunan mudah dipindah,
2.
Dibangun dengan bahan seadanya,
3.
Sebagian besar dibangun sendiri oleh penghuni
(kumuh sejak awal).
B.
Kumuh
turunan (generated);
1. Rumah – rumah yang semula dibanguan dengan ijin,
pada bagian kota yang lama, kondisinya semakin memburuk sehingga menjadi rumah
kumuh,
2.
Desa lama yang terkepung oleh pemekaran kota
yang cepat,
3.
Banguan dan prasarana merosot oleh kurangnya
pemeliharaan.
C.
Kumuh
dalam proyek perumahan (in project housing);
1. Kelompok proyek perumahan yang disediakan oleh
badan pemerintah bagi masyarakat ekonomi lemah,
2. Rumah – rumah diperluas sendiri oleh penghuni
dengan pemeliharaan sangat jelek yang mengakibatkan kemerosotan jasa prasarana.
Penyebab Utama Tumbuhnya
Permukiman Kumuh
Menurut
Khomarudin, 1997 penyebab utama tumbuhnya permukiman kumuh adalah sebagai
berikut :
1.
Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi
kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,
2.
Sulit mencari pekerjaan,
3.
Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,
4.
Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,
5. Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh
para pemilik rumah serta disiplin warga yang rendah,
6. Semakin
sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.
Menurut
Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003:3-5) penyebab adanya permukiman kumuh
adalah:
1. Karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah
terlalu tua, tidak terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang
tidak memenuhi syarat,
2. Karakter
lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak
tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi,
sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik.
Menurut mereka
keadaan kumuh tersebut dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial, budaya para
penghuni permukiman tersebut. Adapun ciri-ciri kawasan permukiman kumuh dapat
tercermin dari :
1. Penampilan fisik bangunannya yang makin
kontruksi, yaitu banyaknya bangunan-bangunan temporer yang berdiri serta nampak
tak terurus maupun tanpa perawatan,
2. Pendapatan yang rendah mencerminkan status
ekonomi mereka, biasanya masyarakat kawasan kumuh berpenghasilan rendah,
3. Kepadatan bangunan yang tinggi, dapat terlihat
tidak adanya jarak antara bangunan maupun siteplan yang tidak terencana,
4. Kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakatnya
yang heterogen,
5. Sistem sanitasi yang miskin atau tidak dalam
kondisi yang baik,
6. Kondisi sosial yang tidak dapat baik dilihat
dengan banyaknya tindakan kejahatan maupun kriminal,
7. Banyaknya masyarakat pendatang yang bertempat
tinggal dengan menyewah rumah.
Karakteristik Permukiman Kumuh
Karakteristik permukiman kumuh,
(Silas,1996) adalah sebagai berikut :
1.
Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa
dibawah standar, rata-rata 6 m²/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara
langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat
dengan permukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit
mendapatkannya.
2. Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat
pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga
rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa.
3. Manfaat permukiman disamping pertimbangan
lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau
aksesibilitas tinggi.
Faktor Penyebab Pertumbuhan
Permukiman Kumuh
Dalam
perkembangannya pertumbuhan permukiman kumuh ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor. Menurut Constantinos A.Doxiadis (1968), disebutkan bahwa pertumbuhan
permukiman kumuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
·
Growth of density (pertambahan penduduk)
Dengan adanya
pertambahan jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan jumlah
keluarga, maka akan membawa masalah baru. Secara manusiawi mereka ingin
menempati rumah milik mereka sendiri. Dengan demikian semakin bertambahlah jumlah
hunian yang ada di kawasan permukiman tersebut yang menyebabkan pertumbuhan
perumahan permukiman.
·
Urbanization (Urbanisasi)
Dengan adanya
daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun
dari luar kota ke pusat kota. Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota
ataupun masyarakat yang membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk
tinggal di permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan
pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota.
postingan yang bermanfaat!
BalasHapusPostingan yang sangat bagus. Saran saya lebih baik menyertakan daftar pustaka. Terima kasih.
BalasHapus