Jumat, 24 April 2015

Teori Perkembangan Kota (Sejarah, Pengertian, Pola, dan Faktor Penyebab)


Sejarah dan Pengertian Kota
Pada mulanya, kota merupakan konsentrasi rumah tangga di pinggir-pinggir sungai yang diorganisasi mengelilingi penguasa atau biasanya pemimpin agama atau pendeta gereja yang kemudian diteruskan oleh kelompok pendeta yang menyelenggarakan pengendalian yang sistimatis dan kontinyu terhadap panen, tenaga kerja dan lain-lain. Masih dapat juga ditelusuri bahwa kota modern di barat pada abad pertengahan dan bahkan sebelum revolusi industri umumnya masih tergantung dari sistem pertanian yang notebene belum memakai alat mesin disamping beberapa kota yang sekaligus memang menjadi pusat perdagangan Nasional dan Internasional. Keadaan tersebut menjadi sebab kota berkembang sangat terbatas dan bila kota bertumbuh di luar batas kemampuan suplai hasil pertanian (makanan) dari “hinterland”  (daerah sekitarnya) maka kota tersebut akan mengalami kesulitan makanan ; dan untuk mempertahankan eksistensi pertumbuhan tersebut sering diperlakukan penaklukan daerah sekeliling atau daerah lain demi memperbesar suplai bahan makanan. Keadaan inilah yang sering dilakukan oleh penguasa kota di Romawi dan Yunani dahulu.

Setelah revolusi industri, kota di barat berkembang dengan sangat pesat dan merupakan asal-usul urbanisasi yang paling berarti. Penduduk kota bertambah dengan drastis dan penduduk desa, terutama yang dekat kota berkurang. Sebelum revolusi industri, pertumbuhan dan perkembangan kota lambat dan bahkan konstan. Setelah revolusi industri pertambahan penduduk bagaikan meledak hingga untuk pertama kalinya kota-kota di barat melebihi kemampuan kota yang real, yaitu mulai dari penyediaan perumahan yang layak, sarana pendidikan, lapangan kerja dan tempat rekreasi dan lain-lain

Dari peninjauan sejarah perkembangan dan pertumbuhan kota secara spesifik diperoleh gambaran mengenai hal-hal yang menyangkut : proses perkembangan dan pertumbuhan kota, faktor-faktor penggerak perkembangan dan pertumbuhan kota, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipakai didalam usaha pengarahan dan penyusunan arah dan besarnya perkembangan dan pertumbuhan  kota. Studi sejarah perkembangan  dan pertumbuhan kota yang spesifik ini jelas akan merupakan bagian yang penting didalam penentuan kebijaksanaan dan pertimbangan didalam perencanaan untuk perkembangan kota tersebut dimasa mendatang. Dari sejarah mengenai perkembangan dan pertumbuhan kota dapat dianalisa apakah pola kecendrungan perkembangan dan pertumbuhan yang berlaku sekarang itu mempunyai nilai yang negatif ataukah positip untuk perkembangan kota selanjutnya. Apabila sifat dari pola dan kecenderungan perkembangan dan pertumbuhan kota itu negatif maka didalam kebijaksanaan perencanaannya perlu pengarahan kearah lain sedemikian rupa sehingga perkembangan  dan pertumbuhannya dapat diarahkan kepada usaha-usaha perbaikan.

Perkembangan kota secara umum menurut Branch (1995) sangat dipengaruhi oleh stuasi dan kondisi internal yang menjadi unsur terpenting dalam perencanaan kota secara komprehensif . Namun beberapa unsur eksternal yang menonjol juga dapat mempengaruhi perkembangan kota. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi perkembangan kota adalah :

1)  Keadaan geografis mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota yang berfungsi sebagai simpul distribusi, misalnya perlu terletak di simpul  jalur transportasi, dipertemuan jalur transportasi regional atau dekat pelabuhan laut.  Kota pantai, misalnya akan  cenederung berbentuk setengah lingkaran, dengan pusat lingkaran adalah pelabuhan laut.
2)  Tapak (Site) merupakan faktor-faktor ke dua yang mempengaruhi perkembangan suatu kota. Salah satu yang di pertimbangkan dalam kondisi tapak adalah topografi. Kota yang berlokasi didataran yang rata akan mudah berkembang kesemua arah, sedangkan yang berlokasi dipegunungan biasanya mempunyai kendala topografi. Kondisi tapak lainnya berkaitan dengan kondisi geologi. Daerah patahan geologis biasanya dihindari oleh perkembangan kota.
3)  Fungsi kota juga merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan kota-kota yang memiliki banyak fungsi, biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan akan berkembang lebih pesat  dari pada kota berfungsi tunggal, misalnya kota pertambangan, kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, biasanya juga berkembang lebih pesat dari pada kota berfungsi lainnya;
4)  Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karekteristik fisik dan sifat masyarakat kota. Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu kota kerajaan akan berbeda dengan perkembangan kota yang sejak awalnya tumbuh secara organisasi. Kepercayaan dan kultur masyarakat juga mempengaruhi daya perkembangan kota. Terdapat tempat-tempat tertentu yang karena kepercayaan dihindari untuk perkembangan tertentu.
5)  Unsur-unsur umum seperti misalnya jaringan jalan, penyediaan air bersih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas, ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik kota kearah tertentu.

Pengertian Perkembangan  Kota
Menurut Ilhami (1988) sebagian besar terjadinya kota adalah berawal dari dari desa yang mengalami perkembangan yang pasti. Faktor yang mendorong perkembangan desa menjadi kota adalah karena desa berhasil menjadi pusat kegiatan tertentu, misalnya desa menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat pergantian transportasi, seperti menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta api, terminal bus dan sebagainya.
Pengertian kota menurut Dickinson (dalam Jayadinata, 1999) adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan pertanian. Suatu kota umumnya selalu mempunyai rumah-rumah yang mengelompok atau merupakan pemukiman terpusat. Suatu kota yang tidak terencana berkembang dipengaruhi oleh keadaan fisik sosial.

Pola-Pola Perkembangan Kota
Sesuai dengan perkembangan penduduk perkotaan yang senantiasa mengalami peningkatan, maka  tuntutan akan kebutuhan kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan teknologi juga terus mengalami peningkatan,  yang semuanya itu mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang perkotaan yang lebih besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota (fringe area). Gejala penjalaran areal kota ini disebut sebagai “invasion” dan proses perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar disebut sebagai “urban sprawl” (Northam dalam Yunus, 1994).

Secara garis besar menurut Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut :

a)  Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat dan menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan konsentris (concentric development).


b)  Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan perkembangan fisik memanjang/linier (ribbon/linear/axial development).

c) Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai perkembangan yang meloncat (leap frog/checher board development).


Jenis penjalaran fisik memanjang/linier yang dikemukakan oleh Northam sama dengan Teori Poros yang dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus (1994), yaitu menjelaskan daerah di sepanjang jalur transportasi memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga perkembangan fisiknya akan lebih pesat dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi.

Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga dikemukakan oleh Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap pola pemekaran atau ekspansi kota menurut Hoyt, antara lain, sebagai berikut :

1) Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan mengikuti jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian polanya akan berbentuk bintang atau “star shape”.
2)  Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya menggabung pada kota yang lebih besar.
3)   Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau disebut dengan konurbasi.

Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Northam dalam Yunus (1994), mengenai perkembangan fisik kota secara konsentris, Branch (1995) mengemukakan enam pola perkembangan fisik kota, secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :


Selanjutnya berdasarkan pada kenampakan morfologi kota serta jenis penjalaran areal kota yang ada, menurut Hudson dalam Yunus (1994) mengemukakan beberapa model bentuk kota, yaitu sebagai berikut :
a)  Bentuk satelit dan pusat-pusat baru. Bentuk ini menggambarkan kota utama yang ada dengan kota-kota kecil di sekitarnya terjalin sedemikian rupa,  sehingga pertalian fungsional lebih efektif dan lebih efisien.
b) Bentuk stellar atau radial. Bentuk kota ini untuk kota yang perkembangan kotanya didominasi oleh ”ribbon development”.
c)  Bentuk cincin, terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama yang melingkar.
d)  Bentuk linier bermanik, pertumbuhan areal-areal kota hanya terbatas di sepanjang jalan utama dan pola umumnya linier. Pada pola ini ada kesempatan untuk berkembang ke arah samping tanpa kendala fisikal.
e) Bentuk inti/kompak, merupakan bentuk perkembangan areal kota yang biasanya didominasi oleh perkembangan vertikal.
f)   Bentuk memencar, merupakan bentuk dengan kesatuan morfologi yang besar dan kompak dengan beberapa ”urban centers”, namun masing-masing pusat mempunyai grup fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain.


Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, tentang pola-pola perkembangan fisik kota, pada dasarnya memiliki banyak persamaan. Namun secara umum pola perkembangan fisik kota dapat dibedakan menjadi perkembangan memusat, perkembangan memanjang mengikuti pola jaringan jalan dan perkembangan meloncat membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.



Dalam mengkaji perkembangan fisik suatu kota, menurut Hagget (1970) dapat mengacu pada teori difusi atau teori penyebaran/penjalaran yang mempunyai dua model yang masing-masing memiliki maksud yang berbeda. Model-model tersebut adalah model difusi ekspansi dan model difusi relokasi, dengan penjelasan berikut ini :

1)  Model difusi ekspansi (expansion diffusion) adalah suatu proses penyebaran informasi, material dan sebagainya yang menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah lain. Dalam proses difusi ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Salah satu contoh proses difusi ekspansi adalah terjadinya pertambahan jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu yang dibedakan dalam dua periode waktu. Dengan demikian dalam ekspansi ruang terdapat pertumbuhan jumlah penduduk, material dan ruang hunian baru.
2)   Model difusi yang lainnya adalah difusi relokasi (relocation diffusion) adalah suatu proses yang penyebaran keruangan, yaitu informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah asal dan berpindah ke daerah yang baru.

Untuk lebih jelasnya kedua metode difusi tersebut dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini :


Faktor-Faktor Penyebab Perkembangan  Kota
Menurut Sujarto (1989) faktor-faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerja pada suatu kota dapat mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu arah tertentu. Ada tiga faktor utama yang  sangat menentukan pola perkembangan dan pertumbuhan kota :
a)  Faktor manusia, yaitu menyangkut segi-segi perkembangan penduduk kota baik karena kelahiran maupun karena migrasi ke kota. Segi-segi perkembangan tenaga kerja, perkembangan status sosial dan perkembangan kemampuan pengetahuan dan teknologi.
b)  Faktor kegiatan manusia, yaitu menyangkut segi-segi kegiatan kerja, kegiatan fungsional, kegiatan perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih luas.
c)  Faktor pola pergerakan, yaitu sebagai akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh kedua faktor perkembangan penduduk yang disertai dengan perkembangan fungsi kegiatannya akan menuntut pola perhubungan antara pusat-pusat kegiatan tersebut.


Daftar Pustaka:
Branch, Melville, 1955. Perencanaan kota Komprehensif, pengantar dan penjelasan (terjemahan)
Catanese, Anthony J. Snyder. James. C 1992. Perencanaan kota Penerbit erlangga. Jakarta.
Chapin. F. Stuart. Jr. and Kaiser. Edward. J. 1979, urban land use planning, University of illionis Press.
Daldjoeni, 1992. Geografi baru, organisasi keruangan dalam teori dan praktek. Penerbit Alumni, bandung.
Daldjoeni, N. 1998, Geografi Kota dan Desa. Penerbit Alumni, Bandung.
Hagget, Peter. 1970, Geography, A Modern Synthesis.  3rd Edition, Harper and Row Publisher, London. 
Ilhami. 1990, Strategi Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Penerbit Usaha Nasional, Surabaya.
Jayadinata, Johara T. 1992, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Kota dan Wilayah. Penerbit ITB, Bandung.
Sujarto, Djoko, 1989, faktor sejarah Perkembangan kota dalam perencanaan perkembangan kota. Bandung. Fakultas teknik sipil dan perencanaan bandung.
Sujarto, Djoko. 1989, Faktor Sejarah Perkembangan Kota Dalam Perencanaan Perkembangan Kota. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB, Bandung.
Sujarto, Djoko. 1992, Perkembangan Perencanaan Tata Ruang Kota di Indonesia. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB, Bandung.
Yunus, Hadi Sabari. 1994, Teori dan Model Struktur Keruangan Kota. Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta.
Yunus, Hadi Sabari. 2000, Struktur Tata Ruang Kota. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Tesis Fitri Susanti, Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Karakteristik Perkembangan  Kota Air Molek,  Pematang Reba Dan Rengat (Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKD-UGM Tahun 2003)

Selasa, 07 April 2015

Permukiman Kumuh


Pengertian Permukiman Kumuh
Kota pada awalnya berupa permukiman dengan skala kecil, kemudian mengalami perkembangan sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi, dan budaya serta interaksinya dengan kota-kota lain dan daerah sekitarnya. Namun yang terjadi dengan kota-kota di indonesia adalah bahwa pertumbuhan penduduk tidak diimbangi dengan pembangunan sarana dan prasarana kota dan peningkatan pelayanan perkotaan. Bahkan yang terjadi justru sebagai kawasan perkotaan mengalami degradasi lingkungan yang berpotensi menciptakan permukiman kumuh. sebagian penghuni kota berprinsip sebagai alat mencari penghasilan yang sebesar-besarnya. Dengan demikian prisip mereka harus hemat dalam arti yang luas, yaitu hemat mendapatkan lahan, pembiayaan pembangunan, pengoperasian dan pemeliharaan, termasuk dalam mendapatkan bahan dan sisitem strukturnya (Sobirin, 2001:41). 

Potret Permukiman Kumuh
Akibatnya, muncul permukiman kumuh di beberapa wilayah kota yang merupakan hal yang tidak dapat dihindari, yaitu tidak direncanakan oleh pemerintah tetapi tumbuh sebagai proses alamiah.Dalam berbagai literatur dapat dilihat berbagai kriteria dalam menentukan kekumuhan atau tidaknya suatu kawasan permukiman. Menurut studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999 :8-9), untuk menentukan kekumuhan suatu kawasan, dapat ditinjau dari empat aspek, yaitu :
1.      Kondisi bangunan atau rumah,
2.      Ketersediaan prasarana dasar dan lingkungan,
3.      Kerentanan status penduduk, dan
4.  Berdasarkan aspek pendudukung, seperti tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai, kurangnya tingkat partisipasi masyarakat pada kegiatan sosial dan dapat dikatakan hampir tidak ada fasilitas yang dibangun secara bersama swadaya maupun non swadaya oleh masyarakat. Berdasarkan kriteria tersebut maka studi tersebut menentukan tiga skala permukiman kumuh, yaitu tidak kumuh, kumuh dan sangat kumuh.
Berbeda dengan studi yang dilakukan oleh Program Pasca Sarjana Jurusan Arsitek tersebut, Laboratorium Permukiman, Jurusan Arsitektur ITS, Surabaya (Rudiyantono, 2000:8), hanya menentukan dua standart permukiman kumuh, yaitu :
1.  Ditinjau dari keadaan kondisi rumahnya, yang antara lain dilihat dari stuktur rumahnya, pemisahan fungsi ruang, kepadatan hunian/rumah dan bangunan dan tatanan bangunan.
2.  Ditinjau dari ketersediaan prasarana dasar lingkungan, seperti pada air bersih, sanitasi, ketersediaan fasilitas tempat ibadah, pendidikan, kesehatan, dan sarana ekonomi, ada tidaknya ruang terbuka di luar perumahan. Studi ini tidak mempertimbangkan kriteria non fisik seperti kerentanan status penduduk untuk melihat tingkat tingkat kekumuhan permukiman.
Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitektur dan permukiman kumuh (Titisari dan Farid Kurniawan, 1999:8), menjelaskan bahwasanya kriteria pokok untuk menentukan permukiman kumuh/marjinal adalah: bila berada di lokasi yang ilegal, dengan keadaan fisiknya yang sub standrat; penghasilan penghuni amat rendah (miskin), tak dapat dilayani berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya oleh publik (kecuali yang berkepentingan). Berdasarkan kriteria Silas tersebut, aspek legalitas juga merupakan kriteria yang harus dipertimbangkan untuk menentukan kekumuhan suatu wilayah selain buruknya kondisi kualitas lingkungan yang ada
Permukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya permukiman berasal dari kata housing dalam bahasa inggris yang artinya adalah perumahan dan kata human settlement yang artinya adalah permukiman. Perumahan memberikan kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungan. Perumahan menitikberatkan pada fisik atau benda mati, yaitu house dan land settlement. Permukiman memberikan kesan tentang pemukiman atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan, sehingga permukiman menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati yaitu manusia (human). Dengan demikian perumahan dan permukiman merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan sangat erat hubungannya, pada hakikatnya saling melengkapi (Kurniasih,2007).
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang belum mapan (Kurniasih,2007).
Menurut UU No. 4 pasal 22 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, dimana permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni antara lain karena berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkan atau tata ruang, kepadatan bangunan yang sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, kualitas umum bangunan rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai, membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghuninya.
Masrun (2009) memaparkan bahwa permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka / rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan.
Khomarudin (1997) lingkungan permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut :
1.      Lingkungan yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha),
2.      Kondisi sosial ekonomi masyarakat rendah,
3.      Jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah standar,
4.      Sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan,
5.      Hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diatur perundang undangan yang berlaku.
Gambaran lingkungan kumuh, (Khomarudin,1997) adalah sebagai berikut :
1.      Lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan,
2.      Luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni,
3.      Rumah hanya sekedar tempat untuk berlindung dari panas dan hujan,
4.      Hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah bukan milik penghuni,
5.      Lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan,
6.      Prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan),
7.      Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan),
8.      Mata pencaharian yang tidak tetap dan usaha non-formal,
9.      Pendidikan masyarakat rendah.
Menurut Sinulingga (2005) ciri-ciri kampung/permukiman kumuh terdiri dari :
1.     Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit.
2.    Jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain.
3.    Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.
4.  Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah.
5.    Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan.
6.   Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya tidak permanen dan malahan banyak sangat darurat.
7.     Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa.
Menurut UNCHS ( 1982; dalam Sochi, 1993) ciri – ciri permukiman kumuh ini antara lain :
1.   Sebagian besar terdiri atas rumah tua (rusak) pada bagian lama suatu kota ( semula didirikan dengan ijin),
2.     Sebagian besar penghuninya merupakan penyewa,
3.    Di beberapa tempat ada rumah bertingkat pemilik yang sekaligus menyewakan beberapa rumah kumuh,
4.     Kepadatan rumahnya tinggi,
5.     Ada yang berasal dari proyek perumahan yang kurang terpelihara, dan
6.    Ada yang dibangun oleh sektor informal, dengan sewa murah untuk menampung migran ekonomi lemah yang datang dari desa.
Permukiman kumuh dipilah atas tiga macam berdasarkan asal atau proses terjadinya, yaitu (Sutanto, 1995):
A.    Kumuh bangunan (created), daerah hunian masyarakat ekonomi lemah dengan ciri fisik :
1.      Bangunan mudah dipindah,
2.      Dibangun dengan bahan seadanya,
3.      Sebagian besar dibangun sendiri oleh penghuni (kumuh sejak awal).
B.     Kumuh turunan (generated);
1.    Rumah – rumah yang semula dibanguan dengan ijin, pada bagian kota yang lama, kondisinya semakin memburuk sehingga menjadi rumah kumuh,
2.      Desa lama yang terkepung oleh pemekaran kota yang cepat,
3.      Banguan dan prasarana merosot oleh kurangnya pemeliharaan.
C.     Kumuh dalam proyek perumahan (in project housing);
1.  Kelompok proyek perumahan yang disediakan oleh badan pemerintah bagi masyarakat ekonomi lemah,
2.   Rumah – rumah diperluas sendiri oleh penghuni dengan pemeliharaan sangat jelek yang mengakibatkan kemerosotan jasa prasarana.

Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh
Menurut Khomarudin, 1997 penyebab utama tumbuhnya permukiman kumuh adalah sebagai berikut :
1.      Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah,
2.      Sulit mencari pekerjaan,
3.      Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,
4.      Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,
5.     Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta disiplin warga yang rendah,
6.      Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.
Menurut Arawinda Nawagamuwa dan Nils Viking (2003:3-5) penyebab adanya permukiman kumuh adalah:
1.   Karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat,
2.     Karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi, sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik.
Menurut mereka keadaan kumuh tersebut dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial, budaya para penghuni permukiman tersebut. Adapun ciri-ciri kawasan permukiman kumuh dapat tercermin dari :
1.  Penampilan fisik bangunannya yang makin kontruksi, yaitu banyaknya bangunan-bangunan temporer yang berdiri serta nampak tak terurus maupun tanpa perawatan,
2.   Pendapatan yang rendah mencerminkan status ekonomi mereka, biasanya masyarakat kawasan kumuh berpenghasilan rendah,
3.   Kepadatan bangunan yang tinggi, dapat terlihat tidak adanya jarak antara bangunan maupun siteplan yang tidak terencana,
4.     Kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakatnya yang heterogen,
5.     Sistem sanitasi yang miskin atau tidak dalam kondisi yang baik,
6.  Kondisi sosial yang tidak dapat baik dilihat dengan banyaknya tindakan kejahatan maupun kriminal,
7.     Banyaknya masyarakat pendatang yang bertempat tinggal dengan menyewah rumah.

Karakteristik Permukiman Kumuh
Karakteristik permukiman kumuh, (Silas,1996) adalah sebagai berikut :
1.  Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m²/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya.
2.   Permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa.
3. Manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi.

Faktor Penyebab Pertumbuhan Permukiman Kumuh
Dalam perkembangannya pertumbuhan permukiman kumuh ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Constantinos A.Doxiadis (1968), disebutkan bahwa pertumbuhan permukiman kumuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
·         Growth of density (pertambahan penduduk)
Dengan adanya pertambahan jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan jumlah keluarga, maka akan membawa masalah baru. Secara manusiawi mereka ingin menempati rumah milik mereka sendiri. Dengan demikian semakin bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan permukiman tersebut yang menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman.
·         Urbanization (Urbanisasi)
Dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota. Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk tinggal di permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota.

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com